Wednesday, May 12, 2010

24 Jam di Brussels

Mengunjungi negara Belgia adalah sebuah ide yang muncul ketika aku melihat peta Eropa, beberapa saat sebelum aku berangkat ke Perancis. Negara ini hanya berjarak 2 jam dari Paris dengan menggunakan transportasi kereta cepat. Bahasa yang digunakan adalah bahasa perancis. Hanya Belgia lah satu-satunya negara di Eropa yang menggunakan bahasa perancis selain negara perancis itu sendiri. Brussels adalah ibukota negara ini, sekaligus juga ibukota Eropa dimana di kota inilah terletak pusat pemerintahan Perserikatan Eropa. Negara yang terkenal dengan coklat dan Tintin, ini nampaknya memang layak untuk dikunjungi.



Dengan kereta api Thalys, tanggal 18 agustus 2009 pukul 8.55am aku berangkat dari Paris menuju Brussels. Setiba di Gare Centrale, aku lalu membeli satu tiket metro day pass untuk berkeliling seharian dan satu tiket one way untuk kupergunakan keesokan harinya. Setelah itu langsung menuju hostel Jaques Brel. Perjalanan ke hostel ini ternyata tak semulus dugaanku, berbeda dengan pengalaman dengan hostel di paris. Bekal bahasa perancisku yang pas-pasan ditambah dengan instruksi dari beberapa orang penduduk setempat yang (maaf) sok tau, memperburuk perjalananku dalam mencari hostel yang sudah kureservasi dari jauh-jauh hari ini. Selama kurang lebih dua jam berkeliling kota dengan sekali naik metro, sekali naik tram, dua kali naik bus, dan berjalan kaki yang lumayan bikin pegel, akhirnya kutemukan juga hostel itu. Dan ternyata letaknya tak jauh dari stasiun metro tempat pertama kali aku tiba. Ya, pada saat traveling kebodohan anda memang bisa saja tiba-tiba tampak dengan jelasnya.

Hanya lima menit berada didalamnya aku sudah bisa menilai bahwa hostel ini jauh lebih baik dari hostel tempatku menginap di Paris. Dari segi pelayanan, fasilitas dan suasana. Padahal tarif keduanya tak berbeda. Selesai menaruh backpack dan mandi, aku kemudian menuju ke pusat kota untuk mengunjungi land mark negara itu, diantaranya adalah La Maison du Roi, Hotel de Ville, dan Grand Place yang ketiganya berada di kompleks yang sama. Anda akan disuguhi nuansa gothic dan sedikit perasaan magis ketika berada diantara gedung-gudung ini. Ada juga ikon kota, berupa patung anak kecil yang tak henti-hentinya pipis dari tahun 1619 hingga sekarang. Kasian patung itu, ia pasti sedang mengalami penyakit saluran kandung kemih yang sangat parah. Namanya Manneken Pis. Lucunya ia menggunakan kostum khas dari negara di seluruh dunia, ia memiliki koleksi sebanyak lebih dari 650 pasang yang bisa diliat di Musee de la Ville, tak jauh dari tempatnya pipis. Ada kostum khas suku Inuit, hingga kostum Elvis presley. Aku cukup beruntung ketika itu ia sedang menggunakan kostum daerah Riau, mungkin karena menghormati hari kemerdekaan Indonesia yang jatuh sehari sebelumnya.







Sebelum mengunjungi tempat tersebut, aku menyempatkan diri masuk ke salah satu kedai makan yang menjual menu-menu khas arab, menu yang kupilih adalah kebab, menu yang menjadi langgananku sejak aku menginjakkan kaki di Eropa. Tak lupa pula aku membeli beberapa oleh-oleh khas belgia, yang tak lain dan tak bukan adalah coklat. Kata orang, coklat belgia adalah salah satu coklat terbaik di dunia, tapi ketika aku mencoba merasakan salah satu produk coklat terkenalnya, bagi ku tak ada bedanya rasa coklat itu dengan coklat-coklat produksi indonesia. Entah mungkin memang benar adanya atau lidah ini yang perlu di ‘sekolahkan’ supaya bisa membedakan coklat kualitas dunia dan coklat kualitas lokal.

Lelah mengitari kompleks Grand Place, aku lalu mengunjungi Musee de la Ville, kebetulan ada harga khusus untuk pengunjung yang memiliki kartu pelajar. Pada dasarnya tujuan utama mengunjungi museum ini adalah karna kebelet pipis, dari pada nyari toilet umum mendingan masuk ke museum, yang sudah pasti ada toiletnya, lagi pula toilet umum juga biasanya bayar.

Berbicara tentang museum di Eropa, jangan harap anda bisa mendapatkan debu, bau apek tak sedap dan hal-hal tak menyenangkan lainnya yang biasa kita temui di beberapa museum di Indonesia. Pengelolaan benda-benda seni dan bersejarah yang sangat baik dan didukung oleh teknologi yang sangat maju membuat di Museum di Eropa menjadi sangat layak untuk dikunjungi meski harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Entah kapan museum-museum di Indonesia bisa seperti itu.

Kembali ke hostel di sore hari, aku langsung menuju dapur umumnya, dan memasak mie instan yang tadi kubeli di supermarket dekat stasiun metro. Aku sempat berkenalan dengan penghuni lain yaitu sepasang suami istri dari inggris yang kebetulan juga sedang menikmati makan malamnya. Mereka sangat ramah dan terbuka, kami sempat bertukar fikiran tentang pendidikan di negeri masing-masing karena ternyata kami memiliki profesi yang sama yaitu pengajar. Sebuah percakapan yang sangat menyenangkan dan menginspirasi bagiku.

Selesai makan malam, aku lalu berniat beristirahat di kamar, tapi perkenalan dengan Cynthia dan Kate, teman sekamarku, membuat rencana istirahatku gagal total. Hanya dengan perkenalan singkat, kami bertiga yang baru bertemu satu sama lain satu jam sebelumnya lalu memutuskan untuk menghabiskan malam mengitari pusat kota Brussels bersama-sama. Kami menuju Grand Palace, menikmati video mapping yang spektakuler di dinding-dinding La Maison du Roi, mencoba waffel coklat, berjalan kaki menikmati suasana malam kota Brussels hingga pulang tengah malam. Perjalanan yang sangat berkesan, teman baru yang menyenangkan, kota yang ramah, menjadikannya sebuah momen yang tak terlupakan seumur hidup.



Read More..