Ga terasa setelah 6 hari di sini, baru tadi siang sempat berkunjung di mesjid setempat. Itu pun setelah seorang kawan mengingatkan. Thanks bro…
Alamat mesjid itu kudapat dari seorang penjual kebab di jalan Du commerce, beberapa blog dari kampus. Ia menunjukkan lokasi mesjid itu dipeta kota yang setiap hari kubawa di tas. Setelah menghabiskan makan siang, aku lalu bergegas menuju lokasi mesjid dengan berjalan kaki.
Semenjak tinggal disini, aku hanya sekali menggunakan autobus, itu pun ketika dijemput ibu Nicole dari stasiun. Selebihnya berjalan kaki. Mayoritas penduduk kota menggunakan sepeda, mobil, autobus dan berjalan kaki dan hanya sekian persen yang menggunakan sepeda motor, jumlahnya pun terbatas. Rata-rata motor besar atau jenis scooter .
Aku sempat berniat untuk menyewa sepeda, karena dari info yang kudapat di internet, biayanya cuma €9 perbulan. Sangat murah dan efisien dibanding berlangganan autobus yang harga kartunya sekitar €21 untuk pemakaian selama 30 hari. Seorang kawan baru dari Jepang pun berniat yang sama, maka kami berangkat ke tempat penyewaan sepeda di dekat Gare De Tour. Setibanya disana, kami sangat kecewa ketika membaca brosur bahwa €9 adalah untuk menyewa sepeda selama 4 jam. Maka niat untuk menyewa sepeda pupus lah sudah. Tapi toh berjalan kaki dikota kecil ini tak terlalu melelahkan. Pada awalnya mungkin terasa capek luar biasa, apalagi aku yang terbiasa kemana-mana dengan motor. Tapi setelah tiga hari, semua terasa biasa. Apa lagi dengan mengganti rute setiap hari, sambil melihat hal baru, maka perjalanan terasa menyenangkan.
Ketika tiba di lokasi yang ditunjukkan, aku merasa heran karena tak ada hal-hal yang menunjukkan keberadaan sebuah mesjid, seperti kubah, papan nama atau sejenisnya.
“Mesjid itu di jalan Mirabeau, didekat apotik” kata si mas penjual kebab.
Aku saat itu berdiri diseberang apotik yang berada dipojok tikungan jalan, di kiri, kanan dan belakang gedung ini hanya ada bangunan biasa. Tak berapa lama kemudian ada seorang wanita muda yang berjalan kearahku. Baru saja aku bertanya tentang mesjid kepadanya, seketika ada sebuah mobil berhenti didekatku.
“Apakah anda mencari mesjid?” Tanya pengemudi mobil itu kepadaku, dengan bahasa perancis.
“Ia benar , anda tahu letaknya?”
“Itu dibelakang gedung apotik ini”
“Terimakasih pak”
Satu lagi contoh bahwa tak semua orang perancis sombong, pelit, tak ramah atau hal-hal negative lainnya yang disebut beberapa kawan kepadaku sebelum dan setelah aku berada di negeri ini.
Rumor ini sempat menghantuiku sebelum keberangkatanku, timbul kekhawatiran yang sebenarnya tak penting. Beberapa ada yang berkata “Orang sana tuh sombong-sombong, ga mau ngomong bahasa inggris.” Well, mungkin karena beberapa dari mereka memang tak mampu berbahasa inggris. It makes sense. Aku teringat pertama kali tiba di Stasiun Montparnas, setelah kebingungan mencari tempat penjual kartu telepon, aku bertanya kepada seorang ibu didekatku. Bahasa perancisku memang masih “patah-patah” dan tampaknya ibu itu mengerti. Ia lalu merespon pertanyaanku dengan bahasa inggris yang sangat fasih dan menunjukkan toko dimana aku bisa mendapatkan kartu telepon. Lalu ada lagi kejadian ketika aku akan naik kereta menuju Tours. Di tiket menunjukkan bahwa seat ku berada di gerbong 15. Lagi-lagi aku kebingungan mencari-cari gerbong mana yang dimaksud, karena tak mendapat petunjuk atau tulisan berupa nomor di badan gerbong. Aku lalu bertanya kepada petugas dengan menggunakan bahasa inggris, karena terlalu paniknya. Sayangnya sang petugas itu tak mengerti yang kumaksud, kemudian ada seorang wanita mendekat, dan memberiku petunjuk tentang nomor gerbong dengan menggunakan bahasa inggris. So, kalau lain kali ada yang berkata bahwa orang perancis sombong, pelit atau sebagainya, tanya balik aja ke dia, “Sudah pernah ketemu orang perancis yang seperti itu?” Kalau dia jawab pernah, mungkin dia lagi apes aja kali…
Tak heran jika aku tak menemukan mesjid itu, bangunannya serupa tempat kediaman orang setempat pada umumnya. Didindingnya pernah tertulis sesuatu, tapi terhapus entah dengan sengaja atau hilang dengan sendirinya. Aku lalu masuk dan melihat-lihat. Ruang dilantai pertama adalah tempat sholat, ditandai dengan adanya karpet terbentang dan mimbar. Ruang dilantai kedua dan ketiga adalah ruang belajar, perpustakaan dan kantor, tertulis di depan pintu masuk ruang sholat.
Tak ada seorangpun di ruang sholat, lalu aku mencari tempat wudhu dan kemudian bertemu dengan seorang lelaki paruh baya.
“Assalamu Alaikum” sapaku padanya.
“Wa alaikum salam. Anda ingin sholat?” Tanyanya dengan bahasa perancis.
“Ia, tapi saya ingin wudhu dulu, tempatnya dimana ya?”
“Oh, disitu” sambil menunjukkan tempat yang dimaksud. “Tapi ini khusus laki-laki, untuk perempuan digedung sebelah, mari saya antarkan”
“Maaf, pak saya tidak tahu, kalau ruangan ini hanya untuk laki-laki’
“Tak masalah, anda pelajar?
“Ia”
“Dari Negara mana?”
“Indonesia”
“Ini gedungnya, kebetulan sekarang masih waktu Dzuhur, silahkan sholat, atau mau istirahat juga boleh. Ini ada maket mesjid yang sekarang sedang dalam tahap pembangunan. InsyaAllah kalau sudah jadi, maka laki-laki dan perempuan bisa sholat berjamaah, karena tempatnya lebih besar dan luas. Tak seperti disini.