“Bangun nak!” seketika suara ibuku membangunkanku dari tidurku.
Wajahnya sekilas muncul dihadapanku, sebelum lenyap seiring dengan penglihatanku yang mulai mengenali situasi sekeliling. Tentu saja ini hanya mimpi. Aku bukan berada dirumah sekarang. Bukan dikamarku yang nyaman dengan spring bed dan selimut yang hangat. Sayup-sayup aku mendengar suara genset di deck bawah. Mesin kapal tampaknya tidak beroperasi, pertanda bahwa kami sudah sampai ditujuan. Lorong kapal dan tempat tidur penumpang tampak lengang, padahal beberapa saat lalu, kapal penuh sesak oleh puluhan orang dewasa, anak-anak dan bayi. Kini hanya beberapa orang yang tersisa, sebagian tidur di ujung deck, sisanya aku dan Erry, teman seperjalananku, dan 2 orang wanita, ibu dan anak remajanya yang tidur diseberang kami.
Aku melirik jam tangan dan menekan tombol light, disituasi remang-remang seperti ini, jam tangan digital sangat berguna. Jam menunjukkan pukul 2 malam, dan kami harus menunggu setidaknya hingga pukul 6 pagi untuk keluar dari kapal dan mencari penginapan. Pemilik kapal sangat berbaik hati membiarkan kami, para penumpang yang tiba di tujan terakhir di hulu Mahakam untuk bermalam, jika tidak, maka pukul 12 malam ketika kapal sampai di dermaga Long Bagun, kami harus turun dari kapal.
Dua hari dua malam berada diatas kapal menuju hulu Mahakam membuat aku terbiasa mencium aroma kayu lembab yang mengingatkanku pada lemari tua ibu. Lemari yang disimpan digudang, yang berisi pakaian-pakaian yang sama tuanya dengan lemari itu. Ayahku hampir membuang lemari itu jika ibuku tidak melarangnya.
Aku lalu berbalik badan menghadap ke kiri, membelakangi Erry yang tertidur lelap. Kami sempat menyisakan satu ruang penumpang diantara kami untuk meletakkan beberapa barang kami. Tak jauh dari hadapanku, aku melihat sesosok pria berbaring menghadapku. Penerangan diatas kapal sebenarnya cukup untuk mengenali semua penumpang, hanya saja lampu yang tepat berada diatas kami mati, sementara lampu di ujung lorong dibiarkan menyala, entah dengan alasan apa, seseorang nampaknya telah mematikannya begitu saja setelah kapal tiba di pelabuhan terakhir. Dalam hati aku bersyukur, karna memudahkan aku untuk terlelap.
Fikirankupun melayang-layang memikirkan hal-hal apa yang akan kami lakukan ke esokan hari, dimana kami menginap, akan mengunjungi desa apa, dan lain sebagainya. Ada perasaan cemas yang menyelinap di sudut pikiranku. Bagaimana jika kami tidak menemukan penginapan, bagaimana jika besok hujan seharian, bagaimana jika kami bertemu orang yang berniat jahat, dan bagaimana-bagaimana lainnya yang semakin membuatku bergidik. Dan ternyata fikiranku tak salah.
Pria yang berbaring tak jauh dariku tiba-tiba mengangkat sebagian tubuhnya, dengan posisi terduduk dia masih menghadap kearahku. Aku sangat yakin dia tidak bisa melihat wajahku, dan mengira aku sedang tertidur. Jantungku mulai berdetak. Bayang-bayang ibuku terlintas cepat. Aku membatu, menggigit bibirku, berharap bahwa pria tersebut hanya terbangun dari tidur, menyadari bahwa dirinya masih berada diatas kapal, lalu mencoba melanjutkan tidurnya kembali, persis seperti yang aku alami saat ini.
Ia lalu bangun, melangkah pelan-pelan menuju kearahku. Sangat pelan, mengendap-endap layaknya pemburu malam yang ingin menangkap mangsanya ketika sedang terbuai angin malam. Walau demikian, langkah kakinya masih dapat menimbulkan bunyi halus dilantai kayu, sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah, aku mendengar bunyi halus itu mendekatiku dan akhirnya berhenti tepat didepanku.
Sekejab kemudian aku membalik badanku pelan-pelan sambil mengeluarkan suara erangan halus, aku tak ingin pria itu menyadari bahwa aku terjaga sebelum aku mengetahui niat dari tindakannya. Menyadari aku berbalik badan, ia lalu mematung, tak bergeming, seakan-akan mencoba berharap bahwa aku tak menyadari kehadirannya yang saat ia berada tepat dihadapanku. Sesaat aku bisa mendengar detak jantungku yang berdegup kencang, aku semakin menggigit bibirku. Ingin rasanya aku berteriak agar Erry terbangun hingga aku tak menghadapi kejadian ini sendirian. Tapi aku masih bertahan dalam diam, walau didalam batinku terjadi perang luar biasa, dan bayangan ibuku semakin berkelebat.
Beberapa detik dalam hening itu terasa bagai penantian maut yang tak jelas ujungnya. Apa yang terjadi berikutnya? Apa yang akan aku lakukan kemudian? Siapa pria ini? Apa maksudnya? Pertanyaan-pertanyaan itu menusuk-nusuk fikiranku.
Pria itu lalu secara perlahan mencoba merebahkan dirinya diantara kami, ruang kosong diantara aku dan Erry memang cukup untuk satu penumpang untuk tidur.
“Erry, bangun!” teriak ku dalam hati, ya, dalam hati. lidahku kelu..nafasku mulai tak teratur, tubuhku bergetar, detik itu aku layaknya patung es yang tak kuasa melakukan apapun, sementara pria itu sudah meletakkan sebagian tubuhnya diantara kami.
Ada beberapa pilihan yang sekiranya bisa aku lakukan saat itu, entah berteriak, menendang atau melempar sesuatu ke arah pria itu. Dan akhirnya kata yang keluar dari mulut sebelum pria itu sukses berbaring diantara kami adalah “Ngapain disini mas?.” Dalam hati aku mengumpat ke diriku sendiri, orang macam ini tak layak diberi kalimat basa-basi.
Pria itu lantas terkesiap, lalu melompat dan secepat kilat meluruskan tubuhnya dan berdiri ditengah-tengah lorong. Aku bisa merasakan kepanikan dirinya. “Eh..aku..aku…mau ngumpulin gelas” katanya dengan suara terbata-bata. Rupanya pria ini adalah seorang anak buah kapal.
“Kami ga pake gelas kapal” hardikku dengan suara lantang. Aku melirik Erry yang rupanya terbangun mendengarku.
“Mbak turun dimana?” tanyanya ke Erry, mencoba mengalihkan pembicaraan dan perhatianku, entah dimana akal sehat pria itu.
“Turun di sini, di Long Bagun, tapi nanti pagi kami baru turun” kata Erry yang aku yakin saat itu sedang bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.
“Oo..” kata pria itu seraya berlalu menuju tangga ke deck bawah dan menghilang.
Aku lalu menceritakan kejadian sebelumnya ke Erry. Ia sangat terkejut lalu segera memindahkan barang-barang kami dan lalu tidur berdekatan. Aku menemukan saklar lampu dan menyalakannya, sebelum membangunkan ibu dan anak perempuan remajanya yang tidur diseberang kami dan memberi pesan agar berhati-hati dan waspada.
Dengan berbagai pertimbangan, kami akhirnya sepakat untuk tidak menceritakan kejadian tersebut ke nakhoda kapal. Diantara pertimbangan tersebut adalah dengan berharap mendapatkan karma baik untuk sisa perjalanan kami yang masih panjang, dan bersyukur tak (sempat) terjadi hal buruk menimpa kami. Dan hingga saat aku menulis ini, bayangan ibuku masih saja berkelebat setiap aku mengingat kejadian tersebut.