Wednesday, January 27, 2010

Pada Suatu Malam di Paris

Agustus, 17 2009.

Pukul 21.00.

Aku masih mengingat dengan jelas kenangan pada setiap detik di jam itu. Saat itu aku tengah berada berada di sebuah kamar hostel di Paris, ini adalah malam ketigaku semenjak kedatangan ku ke kota itu, dan keesokannya hingga tiga hari berikutnya, aku akan melanjutkan perjalananku ke Brussels dan Amsterdam lalu kembali ke Paris selama dua malam sebelum akhirnya kembali ke Indonesia. Packing baru saja selesai kulakukan, memilah-milah barang-barang yang sedianya akan kugunakan di perjalananku nanti, lalu memasukkannya kedalam tas ransel. Barang-barang lainnya kutinggal di store room di hostel, aku sudah minta izin ke petugas hostel dan akan kembali dalam tiga hari kedepan.


Aku baru saja akan keluar kamar, ketika salah seorang teman sekamarku yang berasal dari Argentina berkata,
“Yani, boleh aku bertanya sesuatu?”
“Ya, silahkan...asal jangan tanya sesuatu yang berhubungan dengan matematika ya...I’m not good at it” Candaku.
“Aku bisa melihat dari jilbab yang kamu kenakan, nampaknya kamu seorang muslim yang taat, tapi mengapa selama tiga hari ini, aku tidak pernah melihatmu beribadah?.” Ia lalu menggerakkan tangannya memperagakan seseorang yang takbir diawal sholat. Akupun mengerti apa yang ia maksud.

Aku memang tak pernah sholat di kamar hostel. Hostel tempat kami menginap memiliki kamar-kamar yang sangat sempit. Ditempatku tidur saat itu ada 2 bunk bed (tempat tidur bertingkat), satu single bed, dan sebuah wastafel kecil di pojok kamar. Sisi antara bunk bed sangatlah sempit, hingga bila salah seorang berdiri diantaranya, maka ia harus memiringkan tubuhnya agar orang lain bisa lewat. Bisa dibayangkan betapa kecilnya ruangan kami. Hal ini tentu saja bisa dimaklumi melihat harga sewa hostel permalam yang sangat murah bila dibanding dengan menginap di sebuah hotel di Paris, yang notabene kota termahal di Eropa. Untuk menginap di hostel ini, kami hanya mengeluarkan dana sebesar 16 Euro permalam, sedangkan untuk hotel yang sedikit mewah kami harus membayar paling sedikit 100 Euro. Sebuah harga yang sangat tak masuk akal bagi seorang turis gembel seperti aku .Aku tak berkeberatan untuk menginap di hostel sempit ini dan berbagi ruangan bersama orang-orang yang tak kukenal, mengingat aku hanya menghabiskan waktu tidur ku yang hanya beberapa jam, karna sejak pagi hingga sore, aku tidak berada di hostel. Jadi untuk apa mengeluarkan dana sebegitu besar untuk kemewahan yang tak aku nikmati sepanjang hari.

“Aku sholat, tapi tidak diruang ini tentunya, terlalu sempit, penghuni kamar ini tak bisa keluar masuk kalau misalnya aku sholat di lorong kamar. Aku biasanya meminjam kamar kosong atau kalau shubuh, aku sholat diatas ranjang ini, dan kalian masih dalam keadaan tidur pada saat itu.” Jelasku padanya.

Ia lalu mengangguk tanda mengerti. Untuk seorang Atheis, bagiku ia cukup perhatian, kami langsung akrab sejak pertama kali kami bertemu, disaat waktu senggang, biasanya pada malam hari sebelum tidur, kami sering berdiskusi tentang hal-hal ringan seputar hidup kami.

Pertanyaannya sekaligus mengingatkanku untuk melakukan sholat maghrib dan isya, kebetulan saat itu sudah hampir waktu isya, dan aku akan menuju ke receptionist, untuk meminjam kunci kamar kosong. Hal ini adalah salah satu kegiatan favoritku selama berada di hostel. Mengapa? Karena petugas receptionnya lelaki muda yang sangat ramah dan berwajah mirip Antonio Banderas, ups...lebih ganteng malah...

Tapi harapanku ternyata sia-sia manakala kulihat orang lain di booth receptionist...

“Hai, petugas yang kemarin kemana?” tanyaku kepadanya dalam bahasa inggris.
“Oh, dia hari ini libur, ada apa?”
“Boleh saya pinjam kunci kamar kosong? Saya ingin beribadah barang sepuluh menit, petugas yang kemarin biasanya sudah mengerti dan langsung memberikan saya kunci kamar.”
“Maaf, saat ini kamar sudah penuh, kenapa anda tidak beribadah di mesjid saja? Ada mesjid di dekat sini, anda bisa jalan kaki kesana, letaknya hanya dua blok dari sini”
“Oya? Terima kasih infonya. Saya baru tahu tentang hal itu, bisa tolong di jelaskan letak mesjid itu?.”

Aku lalu bergegas mengambil mukenah dan berangkat ke alamat yang tadi dijelaskan oleh petugas receptionis. Dan benar, hanya sekitar tujuh menit berjalan kaki, mesjid itu sudah kutemukan. Letaknya cukup strategis, ia berada disudut blok, di pinggir jalan raya. Bentuknya tak seperti mesjid-mesjid biasa pada umumnya. Tak ada kubah, hanya sebuah bangunan apartemen yang disisinya terdapat sebuah papan bertuliskan beberapa kata dalan tulisan arab gundul dan beberapa kata berbahasa perancis, lalu ada sebuah gambar bintang dan bulan. Semua tercetak dengan warna hijau. Sayang sekali saat itu aku lupa membawa kamera hingga tak sempat mengambil gambar mesjid itu.

Aku melihat jam tanganku, saat itu pukul 21.30, mungkin orang-orang sudah selesai melakukan sholat isya berjamaah. Pada musim panas di eropa, jadwal sholat memang berbeda dengan di Indonesia. Sholat Maghrib biasanya dimulai pada pukul 20.30 dan isya pada pukul 21.15. Oleh karenanya bila puasa jatuh pada musim panas, maka muslim di eropa harus menahan lapar dan dahaga selama lebih dari 17 jam.

Aku melihat kedalam mesjid yang tak seberapa luas itu. Mesjid itu berlantai karpet berwarna warni. Ada sebuah podium kecil untuk imam dan sebuah lemari berisi buku-buku tebal di pojokan. Di pojok yang lain terdapat sebuah ruang terbuka dengan beberapa keran air. Ada sekitar lima orang pria sedang duduk membentuk suatu lingkaran, nampaknya mereka sedang berdiskusi atau mendengar seorang berceramah. Sedetik kemudian ada seorang lelaki paruh baya berkulit hitam datang mendekatku.

“Assalamualaikum, Bonsoir*” sapaku kepadanya “Saya ingin sholat maghrib dan isya, dimana tempat berwudhu untuk wanita?” tanyaku dalam bahasa perancis.
Bapak itu sempat menatap dengan tatapan sedikit aneh kepadaku, lalu berkata “Anda bisa lewat samping, ada pintu disebelah, silahkan lewat sana.”
Aku pun beranjak menuju pintu tersebut dengan mengambil jalan memutar , tapi ternyata pintu itu terkunci dari dalam. Tiga menit kemudian bapak itu datang.
“Anda tidak bisa sholat di mesjid ini. Mesjid ini khusus untuk laki-laki. Wanita bisa sholat di mesjid khusus, letaknya hanya tiga blok dari sini.” Kata bapak itu sambil tangannya menunjuk pada suatu arah.

Aku sangat kecewa mendengar penjelasannya. Saat itu malam sudah sangat larut, ada sedikit kekhawatiran melihat arah menuju mesjid khusus wanita yang ditunjuk bapak itu. Dari jauh tempat itu terlihat sangat gelap, tak ada orang lalu-lalang dan aku hanya seorang diri. Entah apa alasan mengapa mesjid itu hanya dikhususkan untuk laki-laki, tapi alangkah bijak kiranya bila peraturan itu tidak terlalu mengikat, karena bila dikembalikan pada fungsi mesjid itu sendiri, pada hakikatnya mesjid itu dibangun untuk para muslim yang ingin beribadah. Saya adalah seorang muslim, saya ingin beribadah, saya juga seorang musafir yang kebetulan sendirian, dan saya seorang wanita, pada saat itu sudah tengah malam dan nampaknya tidak begitu aman untuk berkeliaran sendirian. Tidakkah fakta tersebut sudah lebih dari cukup untuk memberikan sebuah eksepsi dari peraturan ‘khusus-lelaki’ dan membiarkan saya sholat atau memberikan saya sebuah tempat khusus untuk sholat. Sayang sekali, kosakata bahasa perancisku tidak terlalu cukup untuk mengungkapkan kata-kata tersebut, hingga saya akhirnya memutuskan untuk pergi ke mesjid yang ditunjuk.

Tak ada lampu jalan, hanya lampu yang tertempel di apartemen yang memungkinkan untuk melihat kearah sekitar, itupun sangat kurang. Dalam perjalananku, aku teringat akan film Harry Potter, dimana ada sebuah scene yang menampakkan lorong-lorong di sebuah kota antah berantah, lorong itu mengingatkanku pada tempat ini. Aku lalu mempercepat langkahku, blok itu sudah semakin dekat.

Aku sudah sampai di tempat yang dimaksud, tiga blok dari mesjid tadi. Tapi tak ada tanda-tanda sebuah mesjid. Tak ada papan nama, atau sejenisnya hanya deretan bangunan apartemen. Aku lalu menyusuri blok itu hingga ke ujungnya. Semakin jauh aku melangkah, semakin gelap lorong itu. Rasa takut ku mulai muncul. Aku lalu menyusuri blok berikutnya, blok ke empat dan masih saja tak menemukan tempat yang di maksud. Tak sengaja kulihat sebuah pasangan muda yang bertengakar didepan sebuah apartemen, tak jauh dari tempatku melangkah, lalu mendengar teriakan dan sahutan dari pasangan itu, hingga akhirnya kudengar bunyi tamparan dan pukulan, dan berakhir dengan rintihan seorang wanita. Rasa takutku memuncak, aku lalu berlalu secepat mungkin, dalam hati aku berdoa, semoga wanita itu tidak terluka.

Ada banyak hal dalam benakku, benarkah mesjid khusus wanita itu ada didaerah ini? Apakah aku yang salah mendengar instruksi dari bapak itu, atau bapak itu hanya berbohong demi ‘menyingkirkanku’ dari mesjid itu. Aku tak ingin berfikir lebih panjang lagi. Lebih baik aku kembali ke hostel secepat mungkin.

Ditengah perjalanan menuju hostel, aku bertemu dengan dua orang wanita muda berwajah khas timur tengah, mengenakan jilbab sedang duduk dan mengobrol didepan sebuah apartemen. Aku lalu berniat untuk menanyakan tentang mesjid itu.

“Permisi, maaf mengganggu, saya tadi mencari mesjid khusus wanita, tapi tak berhasil, apakah anda tahu letaknya?” tanyaku kepada salah seorang dari wanita tersebut.
“Saya tidak tahu” jawabnya sambil menggeleng.
Aku sangat yakin bahwa kedua wanita itu adalah penduduk setempat, karena daerah ini memang kawasan imigran. Sebagian besar penduduknya berasal dari timur tengah dan afrika yang mayoritas muslim. Itulah mengapa sangat mudah menemukan toko makanan arab dan india yang halal. Kedua hal itu yang membuatku memilih hostel dikawasan ini. Tapi disisi lain kawasan ini juga terkenal dengan preman-preman kulit hitam, tak jarang terjadi perampokan bahkan pembunuhan. Untuk hal tersebut, aku mencoba untuk ‘pura-pura tidak tahu’ agar segala langkahku tak dipenuhi dengan kecemasan yang berlebihan, oleh karenanya aku hanya dapat pasrah dan berdoa agar Allah selalu melindungiku.

Jawaban saya-tidak-tahu dari wanita itu sangat mengecewakanku. Saat itu aku sangat berharap setidaknya ia bisa memberitahu bahwa memang ada atau tidak ada mesjid khusus wanita disekitar situ, lebih-lebih jika ia bersedia memberiku tumpangan sholat di apartemennya. Namun sekali lagi aku mencoba berfikir positif, mungkin saja wanita itu benar tidak tahu tentang keberadaan mesjid tersebut, atau mungkin saja dia tidak terlalu nyaman untuk berbicara dengan orang asing, terutama pada malam hari.

Aku baru saja melewati mesjid khusus-pria itu, ketika dihadapanku ada seorang pria tua berjalan tertatih-tatih kearahku. Ia mengenakan sebuah topi lusuh, bajunya compang-camping, di kedua bahunya bergantung kantong plastik yang penuh dengan sesuatu. Tak hanya itu saja, ditangan kanannya ia pun menenteng sebuah kantong, sementara di tangan kirinya menopang sebuah tongkat. Nampak sekali bahwa bapak itu seorang pengemis, atau mirip seorang pengemis. Dalam hati segera timbul rasa iba, kurogoh tas ku dan menemukan beberapa kepingan euro, kalau dijumlah mungkin lebih dari 2 atau 3 euro. Aku dengan sengaja tidak ingin menghitung jumlah pas dari kepingan itu terlebih membandingkannya dengan mata uang rupiah. Dengan sedikit hati-hati dan tersenyum, kusodorkan kepingan itu dan berkata “Bonsoir monsieur, c’est pour vous*”

Yang terjadi berikutnya adalah sesuatu yang tak akan aku lupakan seumur hidup. Bapak tua itu refleks menampik tanganku, sambil meracau tak karuan, ia mengucapkan kata-kata dalam bahasa perancis yang sama sekali tak kupahami. Sementara kepingan-kepingan itu berhambur ditengah jalan, dan mengeluarkan suara gemerincing. Aku shock, tak mengerti, sedih, marah, heran, semua rasa itu bergerumul didalam benakku. Untuk beberapa detik aku tak dapat merespon apa-apa, tubuhku kaku, hingga kudengar seseorang pemuda mendekat dan memunguti kepingan euro itu. Ia memberikannya padaku dan berkata “Mademoiselle, vous pouvez les donner à la mosque*” sambil menunjuk ke arah mesjid dibelakangku. Emosiku pun membuncah.

“Lebih baik aku buang uang ini ke got dari pada harus kuberikan ke mesjid itu” Lelaki muda itu terkesima, aku lupa kalau saat itu aku sedang berbicara dengan bahasa indonesia, otakku tampaknya sudah lelah untuk bekerja sama. Hingga yang ada kemudian adalah air mataku yang tumpah berderai. Aku lalu berlari secepatnya, tak memperdulikan tatapan mata orang sekitarku, bahkan ada seseorang yang menyusuri langkahku dan bertanya dengan heran. Aku hanya dapat menggeleng dan memberi tanda agar dia meninggalkanku sendiri. Beberapa menit kemudian aku menata langkahku dengan perlahan. Air mata itu masih saja berderai hingga aku berada disamping pintu hostel tempat aku menginap. Lengan bajuku sudah basah oleh air mata yang tadi kuseka. Sekilas kutatap segala yang ada didepanku, jalan raya, stasiun metro, mobil, sepeda, orang yang berlalu lalang, gemerlap lampu-lampu jalan, semuanya. Belasan kilometer dari tempatku saat itu terdapat menara Eiffel yang begitu tegak nan anggun, Arc de Triomphe yang gagah, Musée du Louvre yang masyhur , Sacre Coeur yang agung, sungai Seine yang memikat, Kebun Luxembourg yang rindang, Château de Versailles yang megah.

Memukau dan romantis, itulah image pertama yang muncul di benakku setiap kali kumendengar kata “Paris.” Tapi kini, sejak malam dan detik itu, dihatiku Paris tak akan pernah sama lagi.

Bonsoir: Selamat petang
Monsieur: Tuan
C’est pour vous: Ini untuk anda
Mademoiselle: Nona
Vous pouvez les donner à la mosque: Anda bisa memberikan (uang) ini ke mesjid


Read More..