Wednesday, September 30, 2009

Backpacking (bukan) yang pertama

“So what will you do after finishing your study here?”


“I’m going to travel to Paris, Belgium and Netherlands for couple of days before I return to my country”


“That’s great, have you been there before?”

“Nope, it’s my first time of going abroad”


“And you’re going there alone?”


“Yeah…. I’m so excited, can’t hardly wait to have my solo backpacking”


“You’re so brave young lady!”


Demikianlah sepenggal percakapan antara aku dan Pak Hammoudi. Aku mengenal beliau pada acara ekskursi di institut tempat kami belajar di kota Tours, Perancis. Pak Hammoudi berasal dari Algeria. Ia mengajar bahasa inggris di salah satu universitas di negaranya. Mungkin karena kesamaan profesi itu lah yang membuat kami cepat akrab. Dosen paruh baya yang murah senyum itu selalu membuatku merasa sedang berbicara dengan ayahku sendiri. Dan aku merasa sangat terhibur olehnya.





Foto Bareng Pak Hammoudi di depan Chateau De Cheverny, France


“Which cities are you going to visit in Belgium and Netherlands?”
“Brussels and Amsterdam”

“Nice, just take care and becareful, and have a safe journey”

“I will, thank you. Merci beaucoup monsieur”


Aku masih mengingat jelas expresi kaget pak Hammoudi manakala mengetahui bahwa ini adalah perjalanan solo backpacking pertamaku. Seorang gadis mungil dari negara berpenduduk muslim terbesar didunia yang baru pertama kali keluar negeri, akan mengunjungi beberapa negara di Eropa sendirian dengan cara backpacking. Aku menyebutnya dengan istilah ‘plesir semi gembel.’ Aku pun lalu membayangkan kedua orang tua ku akan berekspresi yang sama, bahkan lebih mana kala mendengar rencana ku itu. Pada saat itu orang tuaku memang belum kukabari. Rencananya, aku akan menelfon mereka setibaku di Paris, setelah aku menyelesaikan short course ku di Tours.

Walaupun istilah backpacking masih terbilang baru bagiku (aku pertama kali mengetahuinya beberapa tahun lalu ketika membaca koran tentang seorang gadis indonesia berjilbab yang melakukan solo travellingnya ke Eropa), namun ide travelling low-budget macam ini sudah menjadi cita-citaku sejak aku bisa membaca. Thanks to Pak Janggut yang telah menjadi inspiratorku sejak belasan tahun lalu. Bapak mungil tua baik hati yang memiliki buntelan ajaib itu sangat mempesonaku akan ke hebatannya dalam berkelana, keluar masuk desa, kota, hutan dan tempat-tempat baru yang ia kunjungi.

Maka tak heran lah bila dulu pada masa kanak-kanak, aku selalu bermain dan berhayal layaknya bapak tua itu. Ruang tamu kecil bagiku adalah sebuah dunia luas yang menunggu untuk ku explore, kursi-kursi ruang tamu adalah kota-kota asing yang akan aku kunjungi kelak, dan meja adalah lautan luas yang akan aku seberangi nantinya. Tak lupa pula buntelan kecil yang terbuat dari sarung ayahku yang kuisi dengan beberapa mainanku. Salah satu ujungnya kusimpul mati dan ujung lainnya kuikat di gagang sapu ijuk milik ibuku. Jadilah aku backpacker cilik berbekal mainan ala kadarnya. Aku masih ingat jelas saat itu, sebagai anak bungsu yang sering bermain sendiri di rumah, bermain ala Pak Janggut adalah permainan favorit ku. Hal yang paling aku suka dari permainan ini adalah ketika aku merogoh kedalam kantung ajaibku, lalu meraba-raba isinya dan menebak apa yang ku pegang, lalu mengeluarkannya dari kantung. Dan aku akan senang sekali bila tebakanku benar. Lalu aku akan mengikat lagi kantung itu di ujung sapu, memanggul sapu di pundakku dan melanjutkan berkelana mengunjungi tempat baru lainnya. Aku bisa bermain hingga berjam-jam, hingga aku mendengar ibuku berkata “Aduh...itu sarung sholat punya bapak, ayo kembalikan!”


Read More..