Friday, July 02, 2010

Tupai Bus

Ada beberapa hal unik selama saya traveling ke beberapa negara di eropa tahun lalu. Satu diantarnya adalah pengalaman dengan transportasi. Mungkin sudah banyak yang tahu bahwa perancis adalah negara pertama yang mempelopori angkutan umum sejak 300 tahun lalu. Berawal dari sebuah gerbong yang ditarik oleh kuda, hingga kini berkembang menjadi kereta super cepat. Tak heran bila negara ini memiliki sistem transportasi yang jauh lebih unggul dari negara lainnya. Bagi pelancong dari negara dunia ketiga seperti saya, yang sudah terbiasa dengan angkot sesak, lalu lintas yang semrawut dan polusi udara, sistem transportasi di eropa benar-benar membuat saya berdecak kagum.





Stasiun kereta Tours

Dimulai dari bus yang sangat nyaman (bentuknya hampir mirip dengan busway di jakarta), penduduk setempat yang hampir semua memiliki kartu transportasi prabayar, hanya tinggal memindai kartunya pada alat yang terdapat di dekat pintu masuk bus. Sedangkan bagi yang tak memiliki kartu dapat membayar sesuai tarif pada supir bus, lalu pak supir akan memberikan struk yang bisa digunakan untuk perjalanan bus berikutnya dalam rentang waktu 1 jam. Dan struk inilah yang meninggalkan kesan unik yang pernah saya rasakan selama tinggal di kota Tours, Perancis.

Saya tinggal di homestay yang jaraknya sekitar 15 menit jalan kaki untuk mencapai pusat kota dan 20 menit untuk bisa sampai di kampus tempat saya belajar. Pada minggu kedua saya mulai berani mencoba bus untuk mengeksplor sisi kota lainnya. Bus pertama yang saya naiki adalah dari Carrefour menuju homestay. Saat itu saya berangkat jalan kaki dari pusat kota menuju carrefour bersama seorang kawan dari mesir bernama George. Ia meyakinkan saya bahwa carrefour bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Dan dengan ke innocent-an saya, saya pun menurut, belakangan saya tau bahwa ternyata George juga belum pernah kesana. Dan jarak yang ditempuh dari pusat kota ke carrefour adalah ENAM PULUH MENIT. Pesan moral dari perjalanan itu adalah, jangan mudah percaya pada orang mesir, apalagi jika ia berkata bahwa pyramid bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari Indonesia.

Sepulang dari carrefour, saya memperhatikan struk yang tadi diberikan oleh pak supir. Bentuknya seperti struk ATM, yang bertuliskan tanggal dan masa berlaku struk itu. Entah jin casper apa yang sedang merasuki fikiran saya saat itu hingga membuat saya berfikir jahil untuk menggunakan struk itu di keesokan harinya, dan hari berikutnya, dan hari berikutnya. (jangan sekali-kali anda mencoba hal ini jika anda tidak punya keberanian dan uang denda yang cukup jika suatu saat kepergok petugas).

Maka bermodalkan senyum termanis yang saya punya, dan sapaan Bonjour yang ramah ke pak supir sambil memperlihatkan sekilas struk yang tanggal nya saya tutupi pake jari telunjuk, jadilah saya layaknya seekor tupai yang naik turun di bus dengan lincahnya, tanpa orang lain tau bahwa saya telah mencurangi sistem transportasi di perancis selama berhari-hari.

Read More..

Wednesday, May 12, 2010

24 Jam di Brussels

Mengunjungi negara Belgia adalah sebuah ide yang muncul ketika aku melihat peta Eropa, beberapa saat sebelum aku berangkat ke Perancis. Negara ini hanya berjarak 2 jam dari Paris dengan menggunakan transportasi kereta cepat. Bahasa yang digunakan adalah bahasa perancis. Hanya Belgia lah satu-satunya negara di Eropa yang menggunakan bahasa perancis selain negara perancis itu sendiri. Brussels adalah ibukota negara ini, sekaligus juga ibukota Eropa dimana di kota inilah terletak pusat pemerintahan Perserikatan Eropa. Negara yang terkenal dengan coklat dan Tintin, ini nampaknya memang layak untuk dikunjungi.



Dengan kereta api Thalys, tanggal 18 agustus 2009 pukul 8.55am aku berangkat dari Paris menuju Brussels. Setiba di Gare Centrale, aku lalu membeli satu tiket metro day pass untuk berkeliling seharian dan satu tiket one way untuk kupergunakan keesokan harinya. Setelah itu langsung menuju hostel Jaques Brel. Perjalanan ke hostel ini ternyata tak semulus dugaanku, berbeda dengan pengalaman dengan hostel di paris. Bekal bahasa perancisku yang pas-pasan ditambah dengan instruksi dari beberapa orang penduduk setempat yang (maaf) sok tau, memperburuk perjalananku dalam mencari hostel yang sudah kureservasi dari jauh-jauh hari ini. Selama kurang lebih dua jam berkeliling kota dengan sekali naik metro, sekali naik tram, dua kali naik bus, dan berjalan kaki yang lumayan bikin pegel, akhirnya kutemukan juga hostel itu. Dan ternyata letaknya tak jauh dari stasiun metro tempat pertama kali aku tiba. Ya, pada saat traveling kebodohan anda memang bisa saja tiba-tiba tampak dengan jelasnya.

Hanya lima menit berada didalamnya aku sudah bisa menilai bahwa hostel ini jauh lebih baik dari hostel tempatku menginap di Paris. Dari segi pelayanan, fasilitas dan suasana. Padahal tarif keduanya tak berbeda. Selesai menaruh backpack dan mandi, aku kemudian menuju ke pusat kota untuk mengunjungi land mark negara itu, diantaranya adalah La Maison du Roi, Hotel de Ville, dan Grand Place yang ketiganya berada di kompleks yang sama. Anda akan disuguhi nuansa gothic dan sedikit perasaan magis ketika berada diantara gedung-gudung ini. Ada juga ikon kota, berupa patung anak kecil yang tak henti-hentinya pipis dari tahun 1619 hingga sekarang. Kasian patung itu, ia pasti sedang mengalami penyakit saluran kandung kemih yang sangat parah. Namanya Manneken Pis. Lucunya ia menggunakan kostum khas dari negara di seluruh dunia, ia memiliki koleksi sebanyak lebih dari 650 pasang yang bisa diliat di Musee de la Ville, tak jauh dari tempatnya pipis. Ada kostum khas suku Inuit, hingga kostum Elvis presley. Aku cukup beruntung ketika itu ia sedang menggunakan kostum daerah Riau, mungkin karena menghormati hari kemerdekaan Indonesia yang jatuh sehari sebelumnya.







Sebelum mengunjungi tempat tersebut, aku menyempatkan diri masuk ke salah satu kedai makan yang menjual menu-menu khas arab, menu yang kupilih adalah kebab, menu yang menjadi langgananku sejak aku menginjakkan kaki di Eropa. Tak lupa pula aku membeli beberapa oleh-oleh khas belgia, yang tak lain dan tak bukan adalah coklat. Kata orang, coklat belgia adalah salah satu coklat terbaik di dunia, tapi ketika aku mencoba merasakan salah satu produk coklat terkenalnya, bagi ku tak ada bedanya rasa coklat itu dengan coklat-coklat produksi indonesia. Entah mungkin memang benar adanya atau lidah ini yang perlu di ‘sekolahkan’ supaya bisa membedakan coklat kualitas dunia dan coklat kualitas lokal.

Lelah mengitari kompleks Grand Place, aku lalu mengunjungi Musee de la Ville, kebetulan ada harga khusus untuk pengunjung yang memiliki kartu pelajar. Pada dasarnya tujuan utama mengunjungi museum ini adalah karna kebelet pipis, dari pada nyari toilet umum mendingan masuk ke museum, yang sudah pasti ada toiletnya, lagi pula toilet umum juga biasanya bayar.

Berbicara tentang museum di Eropa, jangan harap anda bisa mendapatkan debu, bau apek tak sedap dan hal-hal tak menyenangkan lainnya yang biasa kita temui di beberapa museum di Indonesia. Pengelolaan benda-benda seni dan bersejarah yang sangat baik dan didukung oleh teknologi yang sangat maju membuat di Museum di Eropa menjadi sangat layak untuk dikunjungi meski harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Entah kapan museum-museum di Indonesia bisa seperti itu.

Kembali ke hostel di sore hari, aku langsung menuju dapur umumnya, dan memasak mie instan yang tadi kubeli di supermarket dekat stasiun metro. Aku sempat berkenalan dengan penghuni lain yaitu sepasang suami istri dari inggris yang kebetulan juga sedang menikmati makan malamnya. Mereka sangat ramah dan terbuka, kami sempat bertukar fikiran tentang pendidikan di negeri masing-masing karena ternyata kami memiliki profesi yang sama yaitu pengajar. Sebuah percakapan yang sangat menyenangkan dan menginspirasi bagiku.

Selesai makan malam, aku lalu berniat beristirahat di kamar, tapi perkenalan dengan Cynthia dan Kate, teman sekamarku, membuat rencana istirahatku gagal total. Hanya dengan perkenalan singkat, kami bertiga yang baru bertemu satu sama lain satu jam sebelumnya lalu memutuskan untuk menghabiskan malam mengitari pusat kota Brussels bersama-sama. Kami menuju Grand Palace, menikmati video mapping yang spektakuler di dinding-dinding La Maison du Roi, mencoba waffel coklat, berjalan kaki menikmati suasana malam kota Brussels hingga pulang tengah malam. Perjalanan yang sangat berkesan, teman baru yang menyenangkan, kota yang ramah, menjadikannya sebuah momen yang tak terlupakan seumur hidup.



Read More..

Wednesday, January 27, 2010

Pada Suatu Malam di Paris

Agustus, 17 2009.

Pukul 21.00.

Aku masih mengingat dengan jelas kenangan pada setiap detik di jam itu. Saat itu aku tengah berada berada di sebuah kamar hostel di Paris, ini adalah malam ketigaku semenjak kedatangan ku ke kota itu, dan keesokannya hingga tiga hari berikutnya, aku akan melanjutkan perjalananku ke Brussels dan Amsterdam lalu kembali ke Paris selama dua malam sebelum akhirnya kembali ke Indonesia. Packing baru saja selesai kulakukan, memilah-milah barang-barang yang sedianya akan kugunakan di perjalananku nanti, lalu memasukkannya kedalam tas ransel. Barang-barang lainnya kutinggal di store room di hostel, aku sudah minta izin ke petugas hostel dan akan kembali dalam tiga hari kedepan.


Aku baru saja akan keluar kamar, ketika salah seorang teman sekamarku yang berasal dari Argentina berkata,
“Yani, boleh aku bertanya sesuatu?”
“Ya, silahkan...asal jangan tanya sesuatu yang berhubungan dengan matematika ya...I’m not good at it” Candaku.
“Aku bisa melihat dari jilbab yang kamu kenakan, nampaknya kamu seorang muslim yang taat, tapi mengapa selama tiga hari ini, aku tidak pernah melihatmu beribadah?.” Ia lalu menggerakkan tangannya memperagakan seseorang yang takbir diawal sholat. Akupun mengerti apa yang ia maksud.

Aku memang tak pernah sholat di kamar hostel. Hostel tempat kami menginap memiliki kamar-kamar yang sangat sempit. Ditempatku tidur saat itu ada 2 bunk bed (tempat tidur bertingkat), satu single bed, dan sebuah wastafel kecil di pojok kamar. Sisi antara bunk bed sangatlah sempit, hingga bila salah seorang berdiri diantaranya, maka ia harus memiringkan tubuhnya agar orang lain bisa lewat. Bisa dibayangkan betapa kecilnya ruangan kami. Hal ini tentu saja bisa dimaklumi melihat harga sewa hostel permalam yang sangat murah bila dibanding dengan menginap di sebuah hotel di Paris, yang notabene kota termahal di Eropa. Untuk menginap di hostel ini, kami hanya mengeluarkan dana sebesar 16 Euro permalam, sedangkan untuk hotel yang sedikit mewah kami harus membayar paling sedikit 100 Euro. Sebuah harga yang sangat tak masuk akal bagi seorang turis gembel seperti aku .Aku tak berkeberatan untuk menginap di hostel sempit ini dan berbagi ruangan bersama orang-orang yang tak kukenal, mengingat aku hanya menghabiskan waktu tidur ku yang hanya beberapa jam, karna sejak pagi hingga sore, aku tidak berada di hostel. Jadi untuk apa mengeluarkan dana sebegitu besar untuk kemewahan yang tak aku nikmati sepanjang hari.

“Aku sholat, tapi tidak diruang ini tentunya, terlalu sempit, penghuni kamar ini tak bisa keluar masuk kalau misalnya aku sholat di lorong kamar. Aku biasanya meminjam kamar kosong atau kalau shubuh, aku sholat diatas ranjang ini, dan kalian masih dalam keadaan tidur pada saat itu.” Jelasku padanya.

Ia lalu mengangguk tanda mengerti. Untuk seorang Atheis, bagiku ia cukup perhatian, kami langsung akrab sejak pertama kali kami bertemu, disaat waktu senggang, biasanya pada malam hari sebelum tidur, kami sering berdiskusi tentang hal-hal ringan seputar hidup kami.

Pertanyaannya sekaligus mengingatkanku untuk melakukan sholat maghrib dan isya, kebetulan saat itu sudah hampir waktu isya, dan aku akan menuju ke receptionist, untuk meminjam kunci kamar kosong. Hal ini adalah salah satu kegiatan favoritku selama berada di hostel. Mengapa? Karena petugas receptionnya lelaki muda yang sangat ramah dan berwajah mirip Antonio Banderas, ups...lebih ganteng malah...

Tapi harapanku ternyata sia-sia manakala kulihat orang lain di booth receptionist...

“Hai, petugas yang kemarin kemana?” tanyaku kepadanya dalam bahasa inggris.
“Oh, dia hari ini libur, ada apa?”
“Boleh saya pinjam kunci kamar kosong? Saya ingin beribadah barang sepuluh menit, petugas yang kemarin biasanya sudah mengerti dan langsung memberikan saya kunci kamar.”
“Maaf, saat ini kamar sudah penuh, kenapa anda tidak beribadah di mesjid saja? Ada mesjid di dekat sini, anda bisa jalan kaki kesana, letaknya hanya dua blok dari sini”
“Oya? Terima kasih infonya. Saya baru tahu tentang hal itu, bisa tolong di jelaskan letak mesjid itu?.”

Aku lalu bergegas mengambil mukenah dan berangkat ke alamat yang tadi dijelaskan oleh petugas receptionis. Dan benar, hanya sekitar tujuh menit berjalan kaki, mesjid itu sudah kutemukan. Letaknya cukup strategis, ia berada disudut blok, di pinggir jalan raya. Bentuknya tak seperti mesjid-mesjid biasa pada umumnya. Tak ada kubah, hanya sebuah bangunan apartemen yang disisinya terdapat sebuah papan bertuliskan beberapa kata dalan tulisan arab gundul dan beberapa kata berbahasa perancis, lalu ada sebuah gambar bintang dan bulan. Semua tercetak dengan warna hijau. Sayang sekali saat itu aku lupa membawa kamera hingga tak sempat mengambil gambar mesjid itu.

Aku melihat jam tanganku, saat itu pukul 21.30, mungkin orang-orang sudah selesai melakukan sholat isya berjamaah. Pada musim panas di eropa, jadwal sholat memang berbeda dengan di Indonesia. Sholat Maghrib biasanya dimulai pada pukul 20.30 dan isya pada pukul 21.15. Oleh karenanya bila puasa jatuh pada musim panas, maka muslim di eropa harus menahan lapar dan dahaga selama lebih dari 17 jam.

Aku melihat kedalam mesjid yang tak seberapa luas itu. Mesjid itu berlantai karpet berwarna warni. Ada sebuah podium kecil untuk imam dan sebuah lemari berisi buku-buku tebal di pojokan. Di pojok yang lain terdapat sebuah ruang terbuka dengan beberapa keran air. Ada sekitar lima orang pria sedang duduk membentuk suatu lingkaran, nampaknya mereka sedang berdiskusi atau mendengar seorang berceramah. Sedetik kemudian ada seorang lelaki paruh baya berkulit hitam datang mendekatku.

“Assalamualaikum, Bonsoir*” sapaku kepadanya “Saya ingin sholat maghrib dan isya, dimana tempat berwudhu untuk wanita?” tanyaku dalam bahasa perancis.
Bapak itu sempat menatap dengan tatapan sedikit aneh kepadaku, lalu berkata “Anda bisa lewat samping, ada pintu disebelah, silahkan lewat sana.”
Aku pun beranjak menuju pintu tersebut dengan mengambil jalan memutar , tapi ternyata pintu itu terkunci dari dalam. Tiga menit kemudian bapak itu datang.
“Anda tidak bisa sholat di mesjid ini. Mesjid ini khusus untuk laki-laki. Wanita bisa sholat di mesjid khusus, letaknya hanya tiga blok dari sini.” Kata bapak itu sambil tangannya menunjuk pada suatu arah.

Aku sangat kecewa mendengar penjelasannya. Saat itu malam sudah sangat larut, ada sedikit kekhawatiran melihat arah menuju mesjid khusus wanita yang ditunjuk bapak itu. Dari jauh tempat itu terlihat sangat gelap, tak ada orang lalu-lalang dan aku hanya seorang diri. Entah apa alasan mengapa mesjid itu hanya dikhususkan untuk laki-laki, tapi alangkah bijak kiranya bila peraturan itu tidak terlalu mengikat, karena bila dikembalikan pada fungsi mesjid itu sendiri, pada hakikatnya mesjid itu dibangun untuk para muslim yang ingin beribadah. Saya adalah seorang muslim, saya ingin beribadah, saya juga seorang musafir yang kebetulan sendirian, dan saya seorang wanita, pada saat itu sudah tengah malam dan nampaknya tidak begitu aman untuk berkeliaran sendirian. Tidakkah fakta tersebut sudah lebih dari cukup untuk memberikan sebuah eksepsi dari peraturan ‘khusus-lelaki’ dan membiarkan saya sholat atau memberikan saya sebuah tempat khusus untuk sholat. Sayang sekali, kosakata bahasa perancisku tidak terlalu cukup untuk mengungkapkan kata-kata tersebut, hingga saya akhirnya memutuskan untuk pergi ke mesjid yang ditunjuk.

Tak ada lampu jalan, hanya lampu yang tertempel di apartemen yang memungkinkan untuk melihat kearah sekitar, itupun sangat kurang. Dalam perjalananku, aku teringat akan film Harry Potter, dimana ada sebuah scene yang menampakkan lorong-lorong di sebuah kota antah berantah, lorong itu mengingatkanku pada tempat ini. Aku lalu mempercepat langkahku, blok itu sudah semakin dekat.

Aku sudah sampai di tempat yang dimaksud, tiga blok dari mesjid tadi. Tapi tak ada tanda-tanda sebuah mesjid. Tak ada papan nama, atau sejenisnya hanya deretan bangunan apartemen. Aku lalu menyusuri blok itu hingga ke ujungnya. Semakin jauh aku melangkah, semakin gelap lorong itu. Rasa takut ku mulai muncul. Aku lalu menyusuri blok berikutnya, blok ke empat dan masih saja tak menemukan tempat yang di maksud. Tak sengaja kulihat sebuah pasangan muda yang bertengakar didepan sebuah apartemen, tak jauh dari tempatku melangkah, lalu mendengar teriakan dan sahutan dari pasangan itu, hingga akhirnya kudengar bunyi tamparan dan pukulan, dan berakhir dengan rintihan seorang wanita. Rasa takutku memuncak, aku lalu berlalu secepat mungkin, dalam hati aku berdoa, semoga wanita itu tidak terluka.

Ada banyak hal dalam benakku, benarkah mesjid khusus wanita itu ada didaerah ini? Apakah aku yang salah mendengar instruksi dari bapak itu, atau bapak itu hanya berbohong demi ‘menyingkirkanku’ dari mesjid itu. Aku tak ingin berfikir lebih panjang lagi. Lebih baik aku kembali ke hostel secepat mungkin.

Ditengah perjalanan menuju hostel, aku bertemu dengan dua orang wanita muda berwajah khas timur tengah, mengenakan jilbab sedang duduk dan mengobrol didepan sebuah apartemen. Aku lalu berniat untuk menanyakan tentang mesjid itu.

“Permisi, maaf mengganggu, saya tadi mencari mesjid khusus wanita, tapi tak berhasil, apakah anda tahu letaknya?” tanyaku kepada salah seorang dari wanita tersebut.
“Saya tidak tahu” jawabnya sambil menggeleng.
Aku sangat yakin bahwa kedua wanita itu adalah penduduk setempat, karena daerah ini memang kawasan imigran. Sebagian besar penduduknya berasal dari timur tengah dan afrika yang mayoritas muslim. Itulah mengapa sangat mudah menemukan toko makanan arab dan india yang halal. Kedua hal itu yang membuatku memilih hostel dikawasan ini. Tapi disisi lain kawasan ini juga terkenal dengan preman-preman kulit hitam, tak jarang terjadi perampokan bahkan pembunuhan. Untuk hal tersebut, aku mencoba untuk ‘pura-pura tidak tahu’ agar segala langkahku tak dipenuhi dengan kecemasan yang berlebihan, oleh karenanya aku hanya dapat pasrah dan berdoa agar Allah selalu melindungiku.

Jawaban saya-tidak-tahu dari wanita itu sangat mengecewakanku. Saat itu aku sangat berharap setidaknya ia bisa memberitahu bahwa memang ada atau tidak ada mesjid khusus wanita disekitar situ, lebih-lebih jika ia bersedia memberiku tumpangan sholat di apartemennya. Namun sekali lagi aku mencoba berfikir positif, mungkin saja wanita itu benar tidak tahu tentang keberadaan mesjid tersebut, atau mungkin saja dia tidak terlalu nyaman untuk berbicara dengan orang asing, terutama pada malam hari.

Aku baru saja melewati mesjid khusus-pria itu, ketika dihadapanku ada seorang pria tua berjalan tertatih-tatih kearahku. Ia mengenakan sebuah topi lusuh, bajunya compang-camping, di kedua bahunya bergantung kantong plastik yang penuh dengan sesuatu. Tak hanya itu saja, ditangan kanannya ia pun menenteng sebuah kantong, sementara di tangan kirinya menopang sebuah tongkat. Nampak sekali bahwa bapak itu seorang pengemis, atau mirip seorang pengemis. Dalam hati segera timbul rasa iba, kurogoh tas ku dan menemukan beberapa kepingan euro, kalau dijumlah mungkin lebih dari 2 atau 3 euro. Aku dengan sengaja tidak ingin menghitung jumlah pas dari kepingan itu terlebih membandingkannya dengan mata uang rupiah. Dengan sedikit hati-hati dan tersenyum, kusodorkan kepingan itu dan berkata “Bonsoir monsieur, c’est pour vous*”

Yang terjadi berikutnya adalah sesuatu yang tak akan aku lupakan seumur hidup. Bapak tua itu refleks menampik tanganku, sambil meracau tak karuan, ia mengucapkan kata-kata dalam bahasa perancis yang sama sekali tak kupahami. Sementara kepingan-kepingan itu berhambur ditengah jalan, dan mengeluarkan suara gemerincing. Aku shock, tak mengerti, sedih, marah, heran, semua rasa itu bergerumul didalam benakku. Untuk beberapa detik aku tak dapat merespon apa-apa, tubuhku kaku, hingga kudengar seseorang pemuda mendekat dan memunguti kepingan euro itu. Ia memberikannya padaku dan berkata “Mademoiselle, vous pouvez les donner à la mosque*” sambil menunjuk ke arah mesjid dibelakangku. Emosiku pun membuncah.

“Lebih baik aku buang uang ini ke got dari pada harus kuberikan ke mesjid itu” Lelaki muda itu terkesima, aku lupa kalau saat itu aku sedang berbicara dengan bahasa indonesia, otakku tampaknya sudah lelah untuk bekerja sama. Hingga yang ada kemudian adalah air mataku yang tumpah berderai. Aku lalu berlari secepatnya, tak memperdulikan tatapan mata orang sekitarku, bahkan ada seseorang yang menyusuri langkahku dan bertanya dengan heran. Aku hanya dapat menggeleng dan memberi tanda agar dia meninggalkanku sendiri. Beberapa menit kemudian aku menata langkahku dengan perlahan. Air mata itu masih saja berderai hingga aku berada disamping pintu hostel tempat aku menginap. Lengan bajuku sudah basah oleh air mata yang tadi kuseka. Sekilas kutatap segala yang ada didepanku, jalan raya, stasiun metro, mobil, sepeda, orang yang berlalu lalang, gemerlap lampu-lampu jalan, semuanya. Belasan kilometer dari tempatku saat itu terdapat menara Eiffel yang begitu tegak nan anggun, Arc de Triomphe yang gagah, Musée du Louvre yang masyhur , Sacre Coeur yang agung, sungai Seine yang memikat, Kebun Luxembourg yang rindang, Château de Versailles yang megah.

Memukau dan romantis, itulah image pertama yang muncul di benakku setiap kali kumendengar kata “Paris.” Tapi kini, sejak malam dan detik itu, dihatiku Paris tak akan pernah sama lagi.

Bonsoir: Selamat petang
Monsieur: Tuan
C’est pour vous: Ini untuk anda
Mademoiselle: Nona
Vous pouvez les donner à la mosque: Anda bisa memberikan (uang) ini ke mesjid


Read More..