Wednesday, January 18, 2012

Bayangan Ibu Diatas Kapal

“Bangun nak!” seketika suara ibuku membangunkanku dari tidurku.


Wajahnya sekilas muncul dihadapanku, sebelum lenyap seiring dengan penglihatanku yang mulai mengenali situasi sekeliling. Tentu saja ini hanya mimpi. Aku bukan berada dirumah sekarang. Bukan dikamarku yang nyaman dengan spring bed dan selimut yang hangat. Sayup-sayup aku mendengar suara genset di deck bawah. Mesin kapal tampaknya tidak beroperasi, pertanda bahwa kami sudah sampai ditujuan. Lorong kapal dan tempat tidur penumpang tampak lengang, padahal beberapa saat lalu, kapal penuh sesak oleh puluhan orang dewasa, anak-anak dan bayi. Kini hanya beberapa orang yang tersisa, sebagian tidur di ujung deck, sisanya aku dan Erry, teman seperjalananku, dan 2 orang wanita, ibu dan anak remajanya yang tidur diseberang kami.


Aku melirik jam tangan dan menekan tombol light, disituasi remang-remang seperti ini, jam tangan digital sangat berguna. Jam menunjukkan pukul 2 malam, dan kami harus menunggu setidaknya hingga pukul 6 pagi untuk keluar dari kapal dan mencari penginapan. Pemilik kapal sangat berbaik hati membiarkan kami, para penumpang yang tiba di tujan terakhir di hulu Mahakam untuk bermalam, jika tidak, maka pukul 12 malam ketika kapal sampai di dermaga Long Bagun, kami harus turun dari kapal.


Dua hari dua malam berada diatas kapal menuju hulu Mahakam membuat aku terbiasa mencium aroma kayu lembab yang mengingatkanku pada lemari tua ibu. Lemari yang disimpan digudang, yang berisi pakaian-pakaian yang sama tuanya dengan lemari itu. Ayahku hampir membuang lemari itu jika ibuku tidak melarangnya.


Aku lalu berbalik badan menghadap ke kiri, membelakangi Erry yang tertidur lelap. Kami sempat menyisakan satu ruang penumpang diantara kami untuk meletakkan beberapa barang kami. Tak jauh dari hadapanku, aku melihat sesosok pria berbaring menghadapku. Penerangan diatas kapal sebenarnya cukup untuk mengenali semua penumpang, hanya saja lampu yang tepat berada diatas kami mati, sementara lampu di ujung lorong dibiarkan menyala, entah dengan alasan apa, seseorang nampaknya telah mematikannya begitu saja setelah kapal tiba di pelabuhan terakhir. Dalam hati aku bersyukur, karna memudahkan aku untuk terlelap.


Fikirankupun melayang-layang memikirkan hal-hal apa yang akan kami lakukan ke esokan hari, dimana kami menginap, akan mengunjungi desa apa, dan lain sebagainya. Ada perasaan cemas yang menyelinap di sudut pikiranku. Bagaimana jika kami tidak menemukan penginapan, bagaimana jika besok hujan seharian, bagaimana jika kami bertemu orang yang berniat jahat, dan bagaimana-bagaimana lainnya yang semakin membuatku bergidik. Dan ternyata fikiranku tak salah.


Pria yang berbaring tak jauh dariku tiba-tiba mengangkat sebagian tubuhnya, dengan posisi terduduk dia masih menghadap kearahku. Aku sangat yakin dia tidak bisa melihat wajahku, dan mengira aku sedang tertidur. Jantungku mulai berdetak. Bayang-bayang ibuku terlintas cepat. Aku membatu, menggigit bibirku, berharap bahwa pria tersebut hanya terbangun dari tidur, menyadari bahwa dirinya masih berada diatas kapal, lalu mencoba melanjutkan tidurnya kembali, persis seperti yang aku alami saat ini.


Ia lalu bangun, melangkah pelan-pelan menuju kearahku. Sangat pelan, mengendap-endap layaknya pemburu malam yang ingin menangkap mangsanya ketika sedang terbuai angin malam. Walau demikian, langkah kakinya masih dapat menimbulkan bunyi halus dilantai kayu, sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah, aku mendengar bunyi halus itu mendekatiku dan akhirnya berhenti tepat didepanku.


Sekejab kemudian aku membalik badanku pelan-pelan sambil mengeluarkan suara erangan halus, aku tak ingin pria itu menyadari bahwa aku terjaga sebelum aku mengetahui niat dari tindakannya. Menyadari aku berbalik badan, ia lalu mematung, tak bergeming, seakan-akan mencoba berharap bahwa aku tak menyadari kehadirannya yang saat ia berada tepat dihadapanku. Sesaat aku bisa mendengar detak jantungku yang berdegup kencang, aku semakin menggigit bibirku. Ingin rasanya aku berteriak agar Erry terbangun hingga aku tak menghadapi kejadian ini sendirian. Tapi aku masih bertahan dalam diam, walau didalam batinku terjadi perang luar biasa, dan bayangan ibuku semakin berkelebat.


Beberapa detik dalam hening itu terasa bagai penantian maut yang tak jelas ujungnya. Apa yang terjadi berikutnya? Apa yang akan aku lakukan kemudian? Siapa pria ini? Apa maksudnya? Pertanyaan-pertanyaan itu menusuk-nusuk fikiranku.


Pria itu lalu secara perlahan mencoba merebahkan dirinya diantara kami, ruang kosong diantara aku dan Erry memang cukup untuk satu penumpang untuk tidur.


“Erry, bangun!” teriak ku dalam hati, ya, dalam hati. lidahku kelu..nafasku mulai tak teratur, tubuhku bergetar, detik itu aku layaknya patung es yang tak kuasa melakukan apapun, sementara pria itu sudah meletakkan sebagian tubuhnya diantara kami.


Ada beberapa pilihan yang sekiranya bisa aku lakukan saat itu, entah berteriak, menendang atau melempar sesuatu ke arah pria itu. Dan akhirnya kata yang keluar dari mulut sebelum pria itu sukses berbaring diantara kami adalah “Ngapain disini mas?.” Dalam hati aku mengumpat ke diriku sendiri, orang macam ini tak layak diberi kalimat basa-basi.


Pria itu lantas terkesiap, lalu melompat dan secepat kilat meluruskan tubuhnya dan berdiri ditengah-tengah lorong. Aku bisa merasakan kepanikan dirinya. “Eh..aku..aku…mau ngumpulin gelas” katanya dengan suara terbata-bata. Rupanya pria ini adalah seorang anak buah kapal.

“Kami ga pake gelas kapal” hardikku dengan suara lantang. Aku melirik Erry yang rupanya terbangun mendengarku.


“Mbak turun dimana?” tanyanya ke Erry, mencoba mengalihkan pembicaraan dan perhatianku, entah dimana akal sehat pria itu.


“Turun di sini, di Long Bagun, tapi nanti pagi kami baru turun” kata Erry yang aku yakin saat itu sedang bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.


“Oo..” kata pria itu seraya berlalu menuju tangga ke deck bawah dan menghilang.


Aku lalu menceritakan kejadian sebelumnya ke Erry. Ia sangat terkejut lalu segera memindahkan barang-barang kami dan lalu tidur berdekatan. Aku menemukan saklar lampu dan menyalakannya, sebelum membangunkan ibu dan anak perempuan remajanya yang tidur diseberang kami dan memberi pesan agar berhati-hati dan waspada.


Dengan berbagai pertimbangan, kami akhirnya sepakat untuk tidak menceritakan kejadian tersebut ke nakhoda kapal. Diantara pertimbangan tersebut adalah dengan berharap mendapatkan karma baik untuk sisa perjalanan kami yang masih panjang, dan bersyukur tak (sempat) terjadi hal buruk menimpa kami. Dan hingga saat aku menulis ini, bayangan ibuku masih saja berkelebat setiap aku mengingat kejadian tersebut.

Read More..

Friday, July 02, 2010

Tupai Bus

Ada beberapa hal unik selama saya traveling ke beberapa negara di eropa tahun lalu. Satu diantarnya adalah pengalaman dengan transportasi. Mungkin sudah banyak yang tahu bahwa perancis adalah negara pertama yang mempelopori angkutan umum sejak 300 tahun lalu. Berawal dari sebuah gerbong yang ditarik oleh kuda, hingga kini berkembang menjadi kereta super cepat. Tak heran bila negara ini memiliki sistem transportasi yang jauh lebih unggul dari negara lainnya. Bagi pelancong dari negara dunia ketiga seperti saya, yang sudah terbiasa dengan angkot sesak, lalu lintas yang semrawut dan polusi udara, sistem transportasi di eropa benar-benar membuat saya berdecak kagum.





Stasiun kereta Tours

Dimulai dari bus yang sangat nyaman (bentuknya hampir mirip dengan busway di jakarta), penduduk setempat yang hampir semua memiliki kartu transportasi prabayar, hanya tinggal memindai kartunya pada alat yang terdapat di dekat pintu masuk bus. Sedangkan bagi yang tak memiliki kartu dapat membayar sesuai tarif pada supir bus, lalu pak supir akan memberikan struk yang bisa digunakan untuk perjalanan bus berikutnya dalam rentang waktu 1 jam. Dan struk inilah yang meninggalkan kesan unik yang pernah saya rasakan selama tinggal di kota Tours, Perancis.

Saya tinggal di homestay yang jaraknya sekitar 15 menit jalan kaki untuk mencapai pusat kota dan 20 menit untuk bisa sampai di kampus tempat saya belajar. Pada minggu kedua saya mulai berani mencoba bus untuk mengeksplor sisi kota lainnya. Bus pertama yang saya naiki adalah dari Carrefour menuju homestay. Saat itu saya berangkat jalan kaki dari pusat kota menuju carrefour bersama seorang kawan dari mesir bernama George. Ia meyakinkan saya bahwa carrefour bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Dan dengan ke innocent-an saya, saya pun menurut, belakangan saya tau bahwa ternyata George juga belum pernah kesana. Dan jarak yang ditempuh dari pusat kota ke carrefour adalah ENAM PULUH MENIT. Pesan moral dari perjalanan itu adalah, jangan mudah percaya pada orang mesir, apalagi jika ia berkata bahwa pyramid bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari Indonesia.

Sepulang dari carrefour, saya memperhatikan struk yang tadi diberikan oleh pak supir. Bentuknya seperti struk ATM, yang bertuliskan tanggal dan masa berlaku struk itu. Entah jin casper apa yang sedang merasuki fikiran saya saat itu hingga membuat saya berfikir jahil untuk menggunakan struk itu di keesokan harinya, dan hari berikutnya, dan hari berikutnya. (jangan sekali-kali anda mencoba hal ini jika anda tidak punya keberanian dan uang denda yang cukup jika suatu saat kepergok petugas).

Maka bermodalkan senyum termanis yang saya punya, dan sapaan Bonjour yang ramah ke pak supir sambil memperlihatkan sekilas struk yang tanggal nya saya tutupi pake jari telunjuk, jadilah saya layaknya seekor tupai yang naik turun di bus dengan lincahnya, tanpa orang lain tau bahwa saya telah mencurangi sistem transportasi di perancis selama berhari-hari.

Read More..

Wednesday, May 12, 2010

24 Jam di Brussels

Mengunjungi negara Belgia adalah sebuah ide yang muncul ketika aku melihat peta Eropa, beberapa saat sebelum aku berangkat ke Perancis. Negara ini hanya berjarak 2 jam dari Paris dengan menggunakan transportasi kereta cepat. Bahasa yang digunakan adalah bahasa perancis. Hanya Belgia lah satu-satunya negara di Eropa yang menggunakan bahasa perancis selain negara perancis itu sendiri. Brussels adalah ibukota negara ini, sekaligus juga ibukota Eropa dimana di kota inilah terletak pusat pemerintahan Perserikatan Eropa. Negara yang terkenal dengan coklat dan Tintin, ini nampaknya memang layak untuk dikunjungi.



Dengan kereta api Thalys, tanggal 18 agustus 2009 pukul 8.55am aku berangkat dari Paris menuju Brussels. Setiba di Gare Centrale, aku lalu membeli satu tiket metro day pass untuk berkeliling seharian dan satu tiket one way untuk kupergunakan keesokan harinya. Setelah itu langsung menuju hostel Jaques Brel. Perjalanan ke hostel ini ternyata tak semulus dugaanku, berbeda dengan pengalaman dengan hostel di paris. Bekal bahasa perancisku yang pas-pasan ditambah dengan instruksi dari beberapa orang penduduk setempat yang (maaf) sok tau, memperburuk perjalananku dalam mencari hostel yang sudah kureservasi dari jauh-jauh hari ini. Selama kurang lebih dua jam berkeliling kota dengan sekali naik metro, sekali naik tram, dua kali naik bus, dan berjalan kaki yang lumayan bikin pegel, akhirnya kutemukan juga hostel itu. Dan ternyata letaknya tak jauh dari stasiun metro tempat pertama kali aku tiba. Ya, pada saat traveling kebodohan anda memang bisa saja tiba-tiba tampak dengan jelasnya.

Hanya lima menit berada didalamnya aku sudah bisa menilai bahwa hostel ini jauh lebih baik dari hostel tempatku menginap di Paris. Dari segi pelayanan, fasilitas dan suasana. Padahal tarif keduanya tak berbeda. Selesai menaruh backpack dan mandi, aku kemudian menuju ke pusat kota untuk mengunjungi land mark negara itu, diantaranya adalah La Maison du Roi, Hotel de Ville, dan Grand Place yang ketiganya berada di kompleks yang sama. Anda akan disuguhi nuansa gothic dan sedikit perasaan magis ketika berada diantara gedung-gudung ini. Ada juga ikon kota, berupa patung anak kecil yang tak henti-hentinya pipis dari tahun 1619 hingga sekarang. Kasian patung itu, ia pasti sedang mengalami penyakit saluran kandung kemih yang sangat parah. Namanya Manneken Pis. Lucunya ia menggunakan kostum khas dari negara di seluruh dunia, ia memiliki koleksi sebanyak lebih dari 650 pasang yang bisa diliat di Musee de la Ville, tak jauh dari tempatnya pipis. Ada kostum khas suku Inuit, hingga kostum Elvis presley. Aku cukup beruntung ketika itu ia sedang menggunakan kostum daerah Riau, mungkin karena menghormati hari kemerdekaan Indonesia yang jatuh sehari sebelumnya.







Sebelum mengunjungi tempat tersebut, aku menyempatkan diri masuk ke salah satu kedai makan yang menjual menu-menu khas arab, menu yang kupilih adalah kebab, menu yang menjadi langgananku sejak aku menginjakkan kaki di Eropa. Tak lupa pula aku membeli beberapa oleh-oleh khas belgia, yang tak lain dan tak bukan adalah coklat. Kata orang, coklat belgia adalah salah satu coklat terbaik di dunia, tapi ketika aku mencoba merasakan salah satu produk coklat terkenalnya, bagi ku tak ada bedanya rasa coklat itu dengan coklat-coklat produksi indonesia. Entah mungkin memang benar adanya atau lidah ini yang perlu di ‘sekolahkan’ supaya bisa membedakan coklat kualitas dunia dan coklat kualitas lokal.

Lelah mengitari kompleks Grand Place, aku lalu mengunjungi Musee de la Ville, kebetulan ada harga khusus untuk pengunjung yang memiliki kartu pelajar. Pada dasarnya tujuan utama mengunjungi museum ini adalah karna kebelet pipis, dari pada nyari toilet umum mendingan masuk ke museum, yang sudah pasti ada toiletnya, lagi pula toilet umum juga biasanya bayar.

Berbicara tentang museum di Eropa, jangan harap anda bisa mendapatkan debu, bau apek tak sedap dan hal-hal tak menyenangkan lainnya yang biasa kita temui di beberapa museum di Indonesia. Pengelolaan benda-benda seni dan bersejarah yang sangat baik dan didukung oleh teknologi yang sangat maju membuat di Museum di Eropa menjadi sangat layak untuk dikunjungi meski harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Entah kapan museum-museum di Indonesia bisa seperti itu.

Kembali ke hostel di sore hari, aku langsung menuju dapur umumnya, dan memasak mie instan yang tadi kubeli di supermarket dekat stasiun metro. Aku sempat berkenalan dengan penghuni lain yaitu sepasang suami istri dari inggris yang kebetulan juga sedang menikmati makan malamnya. Mereka sangat ramah dan terbuka, kami sempat bertukar fikiran tentang pendidikan di negeri masing-masing karena ternyata kami memiliki profesi yang sama yaitu pengajar. Sebuah percakapan yang sangat menyenangkan dan menginspirasi bagiku.

Selesai makan malam, aku lalu berniat beristirahat di kamar, tapi perkenalan dengan Cynthia dan Kate, teman sekamarku, membuat rencana istirahatku gagal total. Hanya dengan perkenalan singkat, kami bertiga yang baru bertemu satu sama lain satu jam sebelumnya lalu memutuskan untuk menghabiskan malam mengitari pusat kota Brussels bersama-sama. Kami menuju Grand Palace, menikmati video mapping yang spektakuler di dinding-dinding La Maison du Roi, mencoba waffel coklat, berjalan kaki menikmati suasana malam kota Brussels hingga pulang tengah malam. Perjalanan yang sangat berkesan, teman baru yang menyenangkan, kota yang ramah, menjadikannya sebuah momen yang tak terlupakan seumur hidup.



Read More..