Pertanyaan dari Natasha sungguh mengagetkan ku, bukan karena tata bahasanya yang agak semrawut, saya sangat memakluminya, ia memang tak terlalu fasih berbahasa inggris, mother tongue nya adalah bahasa perancis, itu lah mengapa ia mengikuti kelas ESL (English as Second Language) bersama beberapa orang asing lainnya. Tapi yang membuat saya sangat terkejut adalah tentang ‘orang indonesia yang suka memotong ekor kucing’ apa ia? Seumur hidup saya yang ditakdirkan lahir dan besar di Indonesia rasanya tak pernah mendengar hal se-kurangkerjaan begitu. Kalaupun ada, mungkin hanyalah orang gila yang cintanya ditolak oleh seekor kucing sehingga nekat memotong ekor kucing yang malang itu. Ataukah memang ada etnis atau suku tertentu di Indonesia yang hobi memutilasi ekor kucing? Tolong informasikan kepada saya kalau memang ada. Saya lalu dengan penasaran bertanya pada gadis keturunan Napoleon itu, tentang dari mana ia mendapatkan informasi tersebut. Dan tahukah anda saudara-saudara yang saya muliakan? Ia kemudian menjawab dengan tanpa dosa "Because i see a lot of cats in here have short tail, maybe the owner cut it" *gubrak*
Hal-hal lucu dan unpredictable seperti itu adalah 'makanan' setiap hari selasa siang di kelas ku, kelas ESL yang telah ku handle sejak empat bulan silam. Semua muridnya, adalah istri-istri dan anak dari para expatriat yang bekerja di sebuah perusahaan asing berskala internasional yang juga beroperasi di Balikpapan.
Mereka, para keluarga ekspatriat tersebut, tinggal di sebuah kompleks perumahan yang telah disediakan oleh perusahaan. Bagi mereka yang berasal dari negara yang bahasa nasionalnya bukan bahasa inggris tentunya mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.
Contohnya Fatou yang berasal dari Gabon (Negara bekas jajahan perancis), pernah bercerita bahwa kata-kata andalannya ketika ia berpapasan dengan tetangganya adalah ‘hai’ dan ‘hello’ dan sisanya adalah bahasa isyarat. Menyadari keterbatasannya itu, ia lalu bertekat untuk belajar bahasa inggris secara privat, dan kami akhirnya dipertemukan oleh salah seorang muridku yang berasal dari Kazakhstan. Lalu terbentuklah kelas itu.
(ka-ki searah jarum jam, Loubna (Yaman), Natasha (Perancis), Naw (Burma), Fatou (Gabon), Than-than (Burma), Pyong-Pyong (Burma)
Pada awalnya saya ragu untuk menghandle mereka, karena merasa belum cukup qualified dan berpengalaman dalam mengajar kelas ESL. Tapi karena dorongan orang-orang terdekat dan fee yang lumayan cukup buat beli bakso plus gerobaknya, akhirnya saya menerima job tersebut.
Tak ada kesan bahwa saya mengajar bahasa inggris pada mereka, yang ada hanyalah kegiatan berupa sharing, ngobrol, dan sedikit curhat, mulai dari topik ringan hingga serius. Adapun berbagai vocabulary baru yang kemudian muncul di tengah-tengah obrolan dan diskusi hanya merupakan selingan informasi ringan bagi kami. What a wonderful job!
Seperti minggu ini, Loubna yang berasal dari Yaman bercerita tentang proses perkenalan dengan suaminya hingga proses pernikahan. Dimana negara tempat ia tinggal sangat menjunjung tinggi tradisi yang berakar dari Islam. Lalu kami membandingkan budaya pernikahan di Burma berdasarkan cerita dari Naw, dan Fatou yang kemudian sangat terkesan dengan cerita dari Loubna yang hampir mirip dengan kisah percintaan mertuanya yang orang perancis. Aku pun tak lupa menambahkan informasi tentang budaya arranged marriage atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan ‘Pernikahan ala Siti Nurbaya’ yang (masih) terjadi di Indonesia.
Kelas pun semakin riuh ketika Than-than menanyakan kepadaku "is it happen to you?" dan kujawab dengan muka merah sambil berkata ‘Hmmm, I’d like to tell you more 'bout that, but unfortunately, times up, so...I’ll see you next week" *ngeles mode on* sedetik kemudian, kertas, pulpen, buku dan marker berterbangan kearahku dari berbagai arah.. :D
No comments:
Post a Comment